Suara negara-negara berkembang terpecah pada hari ketiga perundingan iklim PBB di Kopenhagen.
Negara-negara pulau kecil dan negara miskin Afrika yang rentan terhadap dampak perubahan iklim menghendaki kesepakatan yang mengikat lebih keras secara hukum daripada Protokol Kyoto.
Posisi itu ditentang oleh negara-negara berkembang kaya seperti Cina, yang khawatir bahwa langkah yang lebih tegas akan menghambat pertumbuhan ekonomi mereka.
Sedangkan negara kecil di Pasifik, Tuvalu, menuntut perundingan ditangguhkan hingga masalah tersebut dipecahkan, dan tuntutan itu dipenuhi.
Perpecahan di blok negara berkembang ini luar biasa tajam, mengingat mereka biasanya cenderung berbicara dengan satu suara.
Jururunding Tuvalu Ian Fry menegaskan tuntutan negaranya agar usulnya mengenai protokol hukum baru dibahas penuh tidak bisa ditawar-tawar. Tuvalu mengajukan usul tersebut ke konvensi iklim PBB enam bulan lalu.
"Perdana menteri saya dan banyak kepala negara lain menegaskan niat untuk datang ke Kopenhagen untuk mendatangani kesepakatan yang mengikat secara hukum," Ian Fry dari delegasi Tuvalu.
"Tuvalu adalah salah satu negara yang paling rentan di dunia terhadap perubahan iklim, dan masa depan kami bertumpu pada hasil pertemuan ini," tambah Fry.
Tugas utama (konferensi) ini adalah menyesuaikan hasil yang disepakati dari Rencana Aksi Bali [yang disetujui pada tahun 2007] dan kita seharusnyaa lebih berkonsentrasi pada hal itu
Su Wei
Seruan ini didukung oleh beberapa anggota lain Perhimpunan Negara Pulau Kecil (AOSI), termasuk Kepulauan Cook, Barbados dan Fiji, dan beberapa negara miskin Afrika, termasuk Sierra Leone, Senegal, dan Cape Verde.
Sebagian negara mengulangi tuntutan negara-negara pulau kecil bahwa kenaikan suhu bumi dibatasi hingga 1,5'C, dan konsentrasi gas rumah kaca stabil pada kadar 350 ppm bukannya 450 ppm seperti yang dikehendaki oleh negara maju dan beberapa negara berkembang utama.
Beda pandangan
Negara-negara yang ekonominya tumbuh pesat seperti Cina, India dan Afrika Selatan menentang target 350 ppm, sebab mereka melihat memenuhi target tersebut akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Dalam konferensi di Kopenhagen, mereka juga menentang seruan Tuvalu mengenai protokol baru yang mengikat di samping Protokol Kyoto yang sudah ada. Mereka berpendapat konvensi yang ada dan Protokol Kyoto sudah cukup tegas.
"Tugas utama (konferensi) ini adalah menyesuaikan hasil yang disepakati dari Rencana Aksi Bali [yang disetujui pada tahun 2007] dan kita seharusnyaa lebih berkonsentrasi pada hal itu," kata ketua tim perunding Cina Su Wei.
"Kita memiliki sistem yang sangat valid untuk menanggulangi perubahan iklim," kata Su.
Namun, kesepakatan yang ada tidak cukup tegas bagi negara-negara lebih kecil dan lebih rentan. Mereka terancam akan mengalami kerugian lebih besar akibat kenaikan permukaan air laut dan juga kesulitan ekonomis dari perjanjian yang keras.
Fry meminta negara-negara yang hadir dalam konferensi agar menangguhkan forum jika usul negaranya tidak diterima.
Pimpinan konferensi Connie Hedegaard terpaksa menerima tuntutan tersebut, dan beralih ke pembahasan masalah-masalan lain untuk memberikan lebih banyak waktu untuk pembicaraan di balik layar
Perpecahan di blok negara berkembang ini luar biasa tajam, mengingat mereka biasanya cenderung berbicara dengan satu suara.
Jururunding Tuvalu Ian Fry menegaskan tuntutan negaranya agar usulnya mengenai protokol hukum baru dibahas penuh tidak bisa ditawar-tawar. Tuvalu mengajukan usul tersebut ke konvensi iklim PBB enam bulan lalu.
"Perdana menteri saya dan banyak kepala negara lain menegaskan niat untuk datang ke Kopenhagen untuk mendatangani kesepakatan yang mengikat secara hukum," Ian Fry dari delegasi Tuvalu.
"Tuvalu adalah salah satu negara yang paling rentan di dunia terhadap perubahan iklim, dan masa depan kami bertumpu pada hasil pertemuan ini," tambah Fry.
Tugas utama (konferensi) ini adalah menyesuaikan hasil yang disepakati dari Rencana Aksi Bali [yang disetujui pada tahun 2007] dan kita seharusnyaa lebih berkonsentrasi pada hal itu
Su Wei
Seruan ini didukung oleh beberapa anggota lain Perhimpunan Negara Pulau Kecil (AOSI), termasuk Kepulauan Cook, Barbados dan Fiji, dan beberapa negara miskin Afrika, termasuk Sierra Leone, Senegal, dan Cape Verde.
Sebagian negara mengulangi tuntutan negara-negara pulau kecil bahwa kenaikan suhu bumi dibatasi hingga 1,5'C, dan konsentrasi gas rumah kaca stabil pada kadar 350 ppm bukannya 450 ppm seperti yang dikehendaki oleh negara maju dan beberapa negara berkembang utama.
Beda pandangan
Negara-negara yang ekonominya tumbuh pesat seperti Cina, India dan Afrika Selatan menentang target 350 ppm, sebab mereka melihat memenuhi target tersebut akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Dalam konferensi di Kopenhagen, mereka juga menentang seruan Tuvalu mengenai protokol baru yang mengikat di samping Protokol Kyoto yang sudah ada. Mereka berpendapat konvensi yang ada dan Protokol Kyoto sudah cukup tegas.
"Tugas utama (konferensi) ini adalah menyesuaikan hasil yang disepakati dari Rencana Aksi Bali [yang disetujui pada tahun 2007] dan kita seharusnyaa lebih berkonsentrasi pada hal itu," kata ketua tim perunding Cina Su Wei.
"Kita memiliki sistem yang sangat valid untuk menanggulangi perubahan iklim," kata Su.
Namun, kesepakatan yang ada tidak cukup tegas bagi negara-negara lebih kecil dan lebih rentan. Mereka terancam akan mengalami kerugian lebih besar akibat kenaikan permukaan air laut dan juga kesulitan ekonomis dari perjanjian yang keras.
Fry meminta negara-negara yang hadir dalam konferensi agar menangguhkan forum jika usul negaranya tidak diterima.
Pimpinan konferensi Connie Hedegaard terpaksa menerima tuntutan tersebut, dan beralih ke pembahasan masalah-masalan lain untuk memberikan lebih banyak waktu untuk pembicaraan di balik layar
0 Comment:
Posting Komentar
Jangan bikin spam disini ya,meskipun bebas tapi teratur oke?? Sopan dan beradab