Serat Seh Siti Jenar merupakan karya gubahan Raden Panji Natarata pada abad 19 Masehi yang diambil dari babad Demak karangan Pangeran Wijil dari Kadilangu. Natarata, sebelumnya pernah menulis Sejarah Jati dan Babad Demak dan dipakainya sebagai landasan dalam penulisan Serat Seh Siti Jenar, juga banyak dijadikan acuan oleh para penulis lain.
Tak dapat dielakkan berkat kepiawaian Natarata mempromosikan karya tulisannya Serat Syeh Siti Jenar, menarik banyak masyarakat membacanya. Natarata barangkali menyadari bahwa, Pangeran Wijil penulis Babad Demak, dan kemudian diubah sebagian ataupun seluruh ajarannya, seperti dalam karya R. Tanoyo dalam Riwayat Walisongo, tidak menarik pembaca meski dalam bentuk prosa.
Dalam menyampaikan isi pesan, sebagai karya susastra, Natarata, memilih menggunakan bentuk serat atau tembang, dengan tambahan secara kusus tentang ngelmu kasunyatan. Ngelmu kasunyatan yang dipilihnya pun lebih condong membicarakan sangkan paraning dumadi. Atau dalam istilah filosofisnya dapat dikategorikan sebagai metafisis karena membahas ajaran tentang hakekat Tuhan dan manusia serta hubugnan antara keduanya. 16)
Kiat Natarata memasarka karya susastranya berhasil. Serat Seh Siti Jenar banyak diminati pembaca, dan bahkan menjadi pembicaraan kon-troversial tentang ajaran-ajaran yang disampaikannya dinilai menggugat kemapanan.
Karya susastra Natarata dalam Serat Seh Siti Jenar, yang juga secara harafiah memiliki kesamaan dengan Serat Suluk Wali Sango, hanya ingin menyampaikan isi petikan perdebatan para wali dengan memasukan tokoh nyentrik Siti Jenar. Dalam karyanya tersebut, Natarata secara implisit mengulas keberadaan Tuhan berserta alam semesta ciptaannya yang dianggap nyleneh dari pakem menurut tradisi sesuai dengan jamannya.
Tidak jarang ulasan Natarata dalam Serat Seh Siti Jenar, secara ontologis terasa membingungkan. Apalagi komentar-komentar yang berkaitan dengan keberadaan Allah. Selain menimbulkan kontroversi, Serat Seh Siti Jenar karya Natarata, sarat dengan ajaran mistisisme. Hal ini dapat dilihat dari cara mengungkapkan Pengada yang Ada. Melalui tokoh ciptaannya Seh Siti Jenar, ia bahkan mengikari adanya Pengada yang Ada secara frontal.
Dalam kesempatan mengemukakan pendapatnya pada muktamar para wali yang membahas tentang , tokoh Seh Siti Jenar seperti dalam kutiban Serat Suluk Wali Sana.17)
Teks Sinom 18)
… mojar Seh Siti Jenar/, apa perlune pra wali/, dadak ngun-dang iya marang jenengingwang/, [30];
Artinya :
… berkatalah Seh Siti Jenar, “Tak ada gunanya para wali masih memanggil saya [30];
Sun dudu krerehanira/, mung pada tinitah mati/, aneng donya nora lama/, nuli bari urip maning/, nadyan sri Narapati/, kang nimbali marang ingsun/, ingsun tan arsa seba/, wit ingsun urip pribadi/, tan rumasa den-uripi Sultan Demak/[31];
Artinya :
Saya kan bukan hamba mereka. Kita sama-sama akan mati, tetapi pemukiman kita di dunia ini tidak lama, segera kita akan hidup kembali. Sekalipun sang raja sendiri yang memanggil saya, saya tidak sudi menghadap, karena saya hidup dari diriku sendiri (atau, sayalah hidup itu sendiri); saya tidak merasa menerima hidup dari Sultan Demak [31];
Tan kabawah tan kaprentah/, ingsun jumeneng pribadi/, bumi langit darbekingwang/, sanadyan kang surya sasi ya darbek-sun pribadi/, mengko tekana kang ngaku/, kumawa kuma-wasa/, arsa masesa mring mami/, sun tan arsa eh Pangran Bayat wruhanta/[32];
Artinya :
Saya tidak berada di bawahnya dan tidak menerima perintah-perintahnya. Saya berada karena saya sendiri, langit dan bumi milikku, bahkan matahari dan rembulan itu milik saya pribadi. Lalu ada seseorang yang katanya berkuasa dan meraja, yang ingin mengemudikan saya. Bukan Pangeran Bayat, saya tidak sudi, ketahuilah itu baik-baik [32];
Jatine wali narendra/, pada bae lawan mami/, neng donya asipat sawa/, besuk bosok awor siti/, mulane sun tan apri/, rineh sama ning tumuwuh/, lan maning kawuruhana/, kang aran kaula gusti/, sajatine dudu sama ning maungsa/ [33];
Artinya :
Sebetulnya para wali dan raja sama saja dengan saya. Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan tercampur tanah. Oleh karena itu akan saya tidak sudi diperintah oleh sesama makhluk. Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-gusti tidak berkaitan dengan sese-orang manusia biasa seperti yang lain-lain [33];
Yeku wus aneng manira/, nora pisah rina wengi/, namung ing mengko kewala/, ana aran kwula gusti/, suwene ingsung mati/, benjing yen ingsun wus idup/, sirna gusti kaula/, mung kari urip pribadi/, langgeng meneng aneng anane priyangga/ [34];
Artinya :
Kawula dan gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri [34];
Eh sira Pangeran Bayat/, lamun sira tan udani/, jatine wuwus manira/, pantes lamun sira maksih/, kerem neng jaman pati/, ing kene keh kang tinemu/, lalangen warna-warna/, maneka amilangeni/ tan wruh lamun pakartine pancadriya/ [35];
Artinya :
Hai Pangeran Bayat, bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera [36];
Mung kadyangga ning supena/, tan ana nyatane kedik/, sekedap kewala sirna/, bonggane ingkang ngrakerti/, tan kadya She Siti Brit/, nora sotah kang dadyeku/ gegetun sun kalintang/, kasasar neng jaman pati/ mengko ingsun mung ngesti waluyeng gesang/ [37];
Artinya :
Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenar-an dan sebentar lagi akan lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya, tidak seperti Seh Siti Jenar. Saya tidak merasa ter-tarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan [37].
Pupuh Sinom yang terdapat di setiap baitnya, tampak terlihat [30 dan 31], selain sikap perlawanan terhadap ajaran para wali, tokoh Seh Siti Jenar menunjukkan sikap pembangkangan terhadap kemapanan dalam konteks penyebaran ajaran Islam. Bahkan Seh Siti Jenar pun mengklaim kedudukan dirinya sama dengan raja dan para wali. Ia pun mengingatkan pengertian kawula-gusti tidak terkait dengan manusia biasa [32].
Selain bait-bait yang terdapat dalam suluk Sinom, tokoh Seh Siti Jenar melalui Natarata me-njelentreh-kan pembelaan terhadap tuduhan para wali melalui Pupuh Asmarandana 19) seperti berikut ini.
Sesampunya Kyageng Pengging/, tampi sasmiteng oliya/, Pangeran Lemahbang namanya/, setyambek tyas martatama/, Kawruh muksa- ning angga/, bangkit njereng bangkit ngejum/, temah sirna marang iya [1].
Artinya :
Setelah Kyahi Ageng Pengging/, mendapatkan sasmita dari wali/, yang bernama pangeran Lemahbang/, yang hatinya penuh pengetahuan keutamaan/, pengetahuan tentang musnah-nya badan jasmani/, bangkit dan memikir-mikirkan/, dan akhir-nya membenarkan [1].
Iya janma kang kakiki/, wujud kak kiyanmil kodrat/, jumeneng anane dhewe/, Suksma manuksmeng kawula/, kawula nuks-meng Suksma/, napas sirna marang suwung/, badan lebur wor bantala/, [2].
Artinya :
Manusia yang hakiki/, berwujud hak yang memiliki kekuasaan/ ada dengan sendirinya/, Suksma masuk ke dalam hamba/, hamba masuk ke dalam Suksma/, napas hilang masuk ke dalam kekosongan/, badan hancur bercampur tanah/, [2].
Ananing Allah wit dikir/, dikir pana ing dat sipat/, asma apnga-ling Hyang Manon/, gumulung dadya antaya/, rahsa ing dhe-wekira/, iya sira iya ingsung/, mosik jumeneng dat mulya/, [3].
Artinya :
Adanya Allah itu karena dzikir/, dzikir menjelaskan dzat dan sifat, asma dan afalnya Tuhan/, digulung menjadi antaya/, dan rasa di dalam dirinya sendiri/, ya kamu ya saya/, bergerak menjadi dzat yang mulia/, [3].
Jroning ngalam kabir sahir/, kene kana nora beda/, amung manungsa anane/, Kyageng Pengging Dayaningrat/, waning-lahirken tekad/, Allah majaz wujud palsu/, kaki kene saking asma/, [4].
Artinya :
Dalam alam kabir sahir/, di sini dan di sana tidak berbeda/, yang ada hanya manusia saja/, Kyahi Ageng Pengging Daya-ningrat/, berani mengemukakan keyakinannya/, Allah itu hanya majaz atau kiasan/, wujudnya tidak ada atau palsu/, hakikatnya tidak ada yang ada hanya nama/, [4].
Dalam pupuh Asmarandhana tersebut tampak bahwa terdapat ajaran yang mengikari keberadaan Pengada yang Ada. Dalam hal ini Tuhan itu hanya nama yang diberikan oleh manusia. Hakekatnya tidak ada samasekali. Di mana-mana yang ada hanyalah manusia, tidak lain tidak bukan. Selain itu, dalam ajaran yang disebarkan melalui pupuh Asmarandhana tersebut juga dapat ditangkap mengenai kesan seolah-olah Islam dan Budha diyakini sama. Budha dan Islam itu hakekatnya hanya satu, walaupun namanya dua.
Barangkali, disitulah kegusaran para wali dan pengikutnya tersulut sehingga memfonis Ajaran Seh Siti Jenar dianggap menghina ajaran Islam. Apalagi dalam Serat Seh Siti Jenar, Natarata, secara eksplisit tampak melecehkan Islam seperti yang terlihat dalam Dhandhanggula pupuh (bait) 33 berikut ini :
Salat limang wektu puji dikir/, prastaweng tyas karsanya pribadya/, bener luput tanpa dhewe/, sadarpa gung tertamtu/, badan alus kang munah karti/, ngendi ana Hyang Suksma/, kajaba mung ingsun/, mider donya cakrawala/, luhur langit sapta bumi/, durung manggih/, Wudjudnya dat kang mulya.
Artinya :
Shalat lima waktu, puji-pujian dan dzikir/, kemauan hati maunya sendiri/, salah benar tidak sendirian/, serombongan besar tertentu/, yang memerintahkan adalah badan halus/, mana ada yang bernama tuhan/, yang ada hanyalah saya/, walaupun telah mengelilingi bumi/, belum pernah menjumpai yang bernama Tuhan.
Selain itu, Natarata dalam karyanya Serat Seh Siti Jenar, kesannya tidak konsisten. Ajaran-ajarannya sering kali bertolak belakang dengan keyakinanan yang tidakmeyakini tentang Pengada yang Ada seperti dalam pupuh Dhandanggula bait 20 berikut ini :
Wangsul ingsul dat kang nuksmeng wadi/, pangeranku sifat jalal kamal/, nora karsa salat dhewe/, nora karsa dhandhawuh/, dewong salat pakoning budi/, budi laknat musibat/, tan kena ginugu/, salin-salin perentahnya/, mencla mencle tak temeni nora dadi/, tansah ngajak durjana.
Artinya :
Kembali kepada masalah saya, Tuhan adalah dzat yang masuk ke dalam sesuatu yang misteri/, Tuhanku mempunyai sifat jalal kamal/, tidak mau shalat sendiri/, juga tidak mau memerintah/, orang shalat bukan atas suruhan budi/, budi yang terlaknat dan celaka/, tidak dapat dipercaya/, berubah-ubah perintahnya/, ,juga berganti-ganti pendirian/, kalau dipercaya tidak jadi/, selalu saja mengajak ke kedurhakaan.
Dikutip Dari: alangalangkumitir blog
1 Comment:
Nice info sob...
gue follow loe yah.. :)
Posting Komentar
Jangan bikin spam disini ya,meskipun bebas tapi teratur oke?? Sopan dan beradab