ENTAH manusia atau hewan, jika mendapat gangguan atau ancaman dan dirinya merasa kepepet, tidak ada ruang atau pilihan untuk menghindar, biasanya malah nekat melawan. Lebih baik maju tatu daripada mundur ajur. Daripada jadi pangewan-ewan, lebih baik ngetog kasudibyan, soroh amuk, singa lena pralaya. Inilah gambaran puncak-puncak pertengkaran, perselisihan, yang berkembang menjadi permusuhan yang tak terelakkan lagi. Di sini masalahnya bukan lagi perkara rebut bener, melainkan mempertahankan harga diri. Dan begitu masalahnya mulai dikait-kaitkan dengan harga diri, dianggap nungkak krama atau ngilani dhadha, maka yang muncul bukan lagi perkara nggathukake panemu sing cengkah, tetapi ngambakake lemah bengkah.
Situasi seperti ini sudah lama jadi perhatian orang Jawa. Makanya, mereka suka menasihati. Siapa pun jika bersalah cepatlah mengakui dan minta maaf. Mereka sadar, di antara tindak perbuatan yang paling sulit dilakukan di dunia ini adalah ‘’mengaku salah’’, atau ndhadha sakabehing tumindak luput. Bukan minta maaf. Karena minta maaf mudah diucapkan melalui lidah. Dan kenyataannya, meskipun mulut bilang begitu, mungkin saja suara hatinya tidak begitu.
Terlebih lagi jika yang bersangkutan orang besar. Rasanya jarang mereka sudi mengakui kesalahan meskipun kepepet (terdesak) dan kesalahan tersebut sudah tercium ke mana-mana. Contohnya, Rahwana dan Duryudana. Keduanya jelas bersalah. Yang satu merebut istri orang, yang satu mengangkangi tanah yang bukan haknya. Meskipun demikian, keduanya tidak pernah ngrumangsani salah. Justru memilih perang dan mengorbankan saudara, senapati dan prajurit yang tak berdosa ikut mati berkalang tanah
Persoalannya, mengaku salah secara terbuka sering dianggap oleh mereka sebagai: mbeber wirang. Dan yang namanya isin wirang kalau sudah campur jadi satu diyakini bakal menjatuhkan martabat dan harga diri. Dengan mengaku salah benar-benar akan membuat dirinya tak ubahnya ‘’tikus mati’’. Nah, siapa yang mau harga dirinya disamakan dengan bathang tikus? Di sinilah rumit dan nggegirisi-nya rebut bener, ngrungkebi bebener, dan nggegegi benere dhewe.
Bagi orang Jawa yang sudah nggegulang wayang sampai khatam, biasanya berpendapat: ‘’Kabeh bener. Sing kudu dijaga, aja congkrah.’’ Peringatan ini memang berkesan adiluhung, namun bagi kalangan modern akan menyanggahnya jika pihak yang sesungguhnya bersalah tersebut benar-benar kebangeten (keterlaluan). Seolah lupa bahwa dirinya bersalah, atau terus-menerus merasa benar, dan justru melemparkan kesalahan kepada pihak lain yang mengetahui kesalahannya.
Hidup memang mirip perjudian atau permainan kartu. Semua pemain ingin menang meski kartunya amat sangat jelek sekali. Karena dalam permainan, sekecil apa pun pasti terdapat celah untuk mengalahkan musuh-musuhnya. Termasuk mereka yang menurut logika, kartunya sudah di atas angin. Soalnya, dalam strategi permainan judi, kartu bagus belum jaminan menang. Tanpa strategi yang tepat dan jitu, kartu bagus bisa saja berubah jadi kartu mati.
Contoh konkretnya, simak dalam perjudian kiu-kiu yang menggunakan kartu domino. Masing-masing penjudi memegang empat kartu (dua pasang), dan pemenangnya mereka yang setiap pasangan kartunya bernilai sembilan (kiu). Tetapi realitasnya mereka yang hanya memiliki sepasang kartu kiu pun bisa menang. Caranya, dengan menggunakan jurus pamungkas, yaitu ‘’nggetak’’. Misalnya, dia hanya punya kiu-lima (sepasang kiu, dan sepasang lagi jumlahnya lima) berani menantang lawan yang kartunya kiu-kiu dengan menaikkan taruhan sehingga lawan takut, kemudian menyerah daripada kalah uang banyak. Padahal, dia tertipu. Sesungguhnya dia akan menang jika berani melayani tantangan tadi.
Itu jurus pamungkas dalam perjudian. Jurus-jurus pamungkas lain dalam kehidupan cukup banyak. Anak-anak pun juga sudah mengenal dan menjalankannya. Misalnya, ada pemilik pohon mangga yang pelit di kampungnya. Ketika pohon mangga itu berbuah lebat, diminta satu tidak kasih. Dibeli juga tidak boleh. Lalu, bagaimana semboyan mereka? Nanti malam dicuri saja, habis perkara!
Nah, sumangga dipenggalih. Tiba-tiba dari perkara sekecil itu, dapat menstimulasi tindak kekerasan anak-anak hingga perbuatan mencuri yang harusnya dihindari. Si pemilik mangga pun belum tentu salah. Menurut pendapatnya, nanti kalau sudah panen sebagian juga akan dibagi kepada tetangga dan anak-anak. Hanya, pikiran-pikiran tersebut sering tidak dikomunikasikan dengan bagus dan terbuka. Itu saja masalahnya, sehingga orang lain tidak tahu apa yang sesungguhnya tersembunyi di kepala masing-masing.
Dalam pandangan kejawen, apa pun wujud ‘’jurus pamungkas’’ itu sangatlah berbahaya dan merusak. Maka, jurus pamungkas yang terbaik adalah masing-masing pihak mengakui kesalahan, kemudian duduk bersama —beradu lutut—mencairkannya dengan semangat seia-sekata. Semoga pemimpin dan rakyat di negara ini tidak melupakannya?
Sumber:Suara Merdeka Menu kejawen
1 Comment:
kenapa pemerintah kita tidak seperti demikan yah gan... T_T
Posting Komentar
Jangan bikin spam disini ya,meskipun bebas tapi teratur oke?? Sopan dan beradab