DUNIA TRIK GRATIS ADA DISINI !!!

*Selamat Datang Di blog Punya Adiarto...Bebas Pikiran Semoga Bermanfaat!!!*

Kamis, 07 Januari 2010

Umpan untuk Senjata Pamungkas


DALAM dunia persilatan, dikenal jurus pamungkas. Keberadaan para tokoh sakti juga selalu tak lepas dari kepemilikan atas senjata atau ajian pamungkas. Namun sebagai kekuatan andalan, ia lebih sering menjadi simpanan ketimbang dikeluarkan setiap saat. Lebih sering yang lain dikeluarkan sebagi umpan. Sebab jika tidak, penggunaan senjata pamungkas justru membabar kelemahan pemiliknya.

Sebagai penyimak cerita, barangkali Anda akan bertanya-tanya, kenapa tidak segera saja yang paling sakti dikeluarkan agar tidak lebih banyak korban berjatuhan? Kenapa pula sang tokoh utama tak bersigegas mengeluarkan ajian, senjata, ataupun jurus pamungkasnya untuk segera menaklukkan musuh bebuyutan?
Andai logika macam begitu yang digunakan, barangkali dalam Baratayuda tidak perlu semua tokoh Kurawa menemui ajalnya. Tidak perlu pula para ksatria dan raja penyokong Pandawa menumpahkan darah di Kurusetra. Bukankah lebih ngirit dan efektif jika cukup satu Bima dan satu Duryudana yang terlibat dalam perang tanding, perang permulaan sekaligus perang habis-habisan. Toh hanya pada mereka simbol sekaligus kemenangan, atau sebaliknya: kekalahan, termuarakan.

Anda boleh saja curiga, jika alur macam begitu yang dipilih oleh penggubah, pastilah cerita tak akan hadir mengharu-biru. Pastilah tegangan demi tegangan tak pernah membangun klimaks-antiklimaks yang hadir secara bertubi-tubi sehingga penikmatnya tak perlu pula tenggelam dalam sensasi.
Sekali lagi, prasangka seperti itu tentu sah-sah saja. Namun ketika cerita persilatan dari belahan bumi mana saja menampakkan motif dan satuan naratif yang kurang lebih serupa, pastilah ada ‘’logika’’ tersendiri yang tengah diyakini. Logika yang menempatkan jurus, ajian, ataupun senjata pamungkas pada posisi tersendiri. Logika yang kerap kali menampakkan hal-hal paradoksal.
Betapa tidak, beberapa tokoh sakti keseser ing tandhing justru ketika pusaka sakti, senjata pamungkas, berada di tangan. Ini bisa disimak, misalnya, pada serial Nagasasra Sabuk Inten karya termasyhur SH Mintardja. Bukankah ketika keris sakti itu berada di tangan, semestinya kekuatan dan kesaktian juga secara otomatis sudah nyarira tunggal.
Namun yang terjadi malahan sebaliknya. Justru ketika padanya bersemayam ‘’senjata pamungkas’’ itu, ketidaktenangan kian menjadi-jadi lantaran selalu diburu musuh yang dating bersamaan maupun silih berganti. Tak ayal lagi, penyamaran dan pengasingan diri pun menjadi pilihan yang dianggap paling taktis.
Di titik seperti ini, tak berlebihan jika dikatakan bahwa sebuah senjata yang pada mulanya diyakini sebagai senjata pamungkas, justru hanya berposisi sebagai simbol belaka. Pada tataran praksis, ia seolah-olah nirfungsi dari segala nuansa kesaktimandragunaan.
Perlu Umpan
Memang, musuh tidak hanya perlu untuk dikalahkan saja tetapi juga harus dikenali. Pengenalan yang baik terhadap musuh, lengkap dengan kelebihan dan kelemahannya, akan menjadi prasyarat untuk menuju pada kemenangan.
Itulah kenapa, puncak kemenangan selalu menuntut proses yang terkadang cukup panjang. Proses itu antara lain berupa penjajakan terhadap kekuatan musuh, seberapa kedahsyatannya dan pada tingkat mana sebenarnya ia akan bisa ditaklukkan. Malahan untuk ini, perlu juga ada antisipasi, karena kekuatan pada diri lawan juga terus bergerak, sehingga proses yang bersifat akseleratif menjadi demikian niscaya.
Itu pula kenapa, untuk menandingi Adipati Karna, Kresna sang pemegang skenario harus menjadikan Gatotkaca sebagai umpan. Gatotkacalah yang mesti menghadapi sang Adipati Awangga itu sebelum bertempur dengan Arjuna.
Skenario itu tak lepas dari kisah sebelumnya. Tatkala Gatotkaca lahir, tiada satu pun pusaka yang mampu memotong tali pusat putra Bima itu. Akhirnya Arjuna mendapat mandat dari keluarga besarnya untuk meminta senjata sakti kepada para dewa.
Dewa, melalui Bathara Narada, memang akhirnya memberikan anugerah berupa pusaka Kuntawijayadanu. Namun rupanya Narada kurang cermat penglihatan. Bukannya kepada Arjuna, pusaka justru diberikan kepada Karna yang memang memiliki wajah mirip dengan Arjuna.
Sadar bahwa pemberiannya salah orang, Narada pun menyuruh Arjuna segera mengejar Karna. Perebutan senjata Kunta terjadilah. Arjuna hanya mendapatkan warangka, sedangkan curiga tetap di tangan Karna. Tapi warangka pun sudah cukup untuk memotong tali pusat Jabang Tetuka. Hanya, anehnya warangka serta merta menyatu dalam tubuh si bocah.
Itulah kenapa saat Baratayuda, Kresna ‘’mengumpankan’’ Gatotkaca, sebab dengan begitu curiga Kuntawijaya sebagai senjata pamungkas Karna akan mencari, menyatu dengan warangkanya. Dengan lepasnya Kunta, berarti lepas pula senjata pamungkas senapati Kurawa itu, sehingga mudah bagi Arjuna mengalahkan saudara satu ibu beda ayah itu di Tegal Kurusetra.
Pelajaran yang dipetik dari kisah tersebut, jangan lekas-lekas mengeluarkan senjata pamungkas jika memang belum diperlukan benar dan ketika sudah tidak ada pilihan lain. Pelepasan senjata, ajian, ataupun jurus pamungkas hanya akan mengabarkan sebatas mana kedigdayaan si empunya. Malahan lebih baik berguru pada Arjuna yang tak perlu mengeluarkan senjata sendiri ketika menghadapi musuh sekelas cakil. Cukup dengan sedikit tindakan namun taktis, Cakil akan mati di ujung kerisnya sendiri.
Penggunaan senjata pamungkas secara grusa-grusu juga hanya akan berujung petaka. Itu yang dialami Rama tatkala melepas senjata mahasaktinya Guawijaya ke tubuh bumi. Bukannya Sinta kembali padanya, melainkan justru memilih kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Dengan senjata pamungkas, Rama justru mendapatkan kekalahan yang teramat senyap.
Meski demikian, setiap tokoh, setiap pemimpin haruslah memiliki jurus, senjata, ataupun ajian pamungkas meski kadang sekadar sebagai cadangan. Ada yang untuk menaklukkan musuh dengan jurus dewa mabuk, ada yang mematikan lawan dengan pukulan ìcedhak tan sinenggolan odoh tan wangenanî namun terbukti mematikan. Itu semua bisa bagian dari proses untuk menekuklututkan lawan, meski lebih dari itu dapat pula menjadi jurus pamungkas. Namun apa pun, setiap yang bersebut pamungkas harus mungkasi, hadir sesuai dengan sangat-nya, dan bukan malah membuka kekalahan yang lebih besar. (35)


(Sucipto Hadi Purnomo, dosen Budaya Jawa Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa FBS Unnes/)

Sumber: Suara Merdeka Menu Kejawen
____________________________________________

Artikel Terkait



0 Comment:

Posting Komentar

Jangan bikin spam disini ya,meskipun bebas tapi teratur oke?? Sopan dan beradab