LAWANG, secara fungsional, merupakan pintu yang menjinjing seribu satu kemungkinan. Bagian penting dari setiap rumah dan bangunan ini tak jarang berada di titik yang menghadirkan situasi oposisional: kecurigaan sekaligus pengharapan, keteguhan tetapi pada kesempatan lain justru menjadi jalan dhemenan!
Tak ada rumah tanpa pintu. Minimal satu sebagai pintu masuk, sekaligus juga pintu keluar. Pintulah yang lazim menentukan, ke mana arah menghadap rumah itu. Pintu yang mengharuskan pemilik dan tetamu memasukinya dari barat, menunjukkan rumah itu menghadap ke barat. Begitu seterusnya.
Pintu masuk utama, pada rumah Jawa, biasanya berada tepat di tengah dinding muka bangunan yang simetris. Di depan pintu, baik dalam keadaan terbuka maupun terutama pada saat tertutup, setiap tamu wajib uluk salam sebelum melewatinya.
Melalui pintu tersebut, tamu akan disilakan masuk. Pintu akan bertindak sebagai titik pengundang sekaligus titik penerima yang akan mengubah orang lain menjadi tamu yang selayaknya dihormati.
Biasanya ambang bawah pintu dilengkapi sebatang kayu melintang berbentuk balok persegi panjang. Itulah tlundhak(-an). Fungsinya semacam penginterupsi atas tindak masuk (the action of entering). Sebab, jika sang tamu tak ingin tersandung, apalagi terjungkal, ia harus berhenti sejenak di muka pintu. Ia harus melangkah dengan saksama sembari menerima sambutan tuan rumah. Dengan tlundhakan, sang tamu juga telah mengakui otoritas pemilik rumah.
Namun bangunan rumah modern Jawa kini pada umumnya tak menyertakan lagi tlundhakan di pintu utamanya. Ambang bawah pintu sudah dibuat sama rata dengan lantai yang berubin, dan hilanglah fungsi sebagaimana disebut tadi.
Di rumah para pembesar Jawa pada masa lampau (juga sekarang), di depan pintu dalam posisi sebelah-menyebelah, biasanya terdapat dua arca gopala atau reca penthung. Disebut gopala karena arca batu ini berupa raksasa bajang bertaring. Disebut pula reca penthung karena arca ini selalu memegang gada atau penthung. Pendek kata, inilah jenis arca yang ”bertugas menjaga” pintu utama.
Tentu saja penjagaan yang dilakukan oleh arca gopala simbolik belaka, meski di sana-sini bisa muncul keyakinan bahwa di balik batu yang bisu itu bersemayam pula kekuatan yang lebih bersifat metafisis. Karena itu, tidaklah mengherankan bahwa penjagaan terhadap pintu bisa juga dilakukan dengan pemasangan rajah kalacakra ataupun Ayat Kursi di atasnya. ”Penjagaan” terhadap pintu juga tak jarang dilakukan dengan pemasangan cermin bundar berbingkai merah.
Dalam tradisi kecilan atau kupatan di beberapa desa di Pantai Utara Jawa, selama kira-kira sehari-semalam di setiap pintu rumah selalu dipasangi kupat dan lepet. Makanan dalam balutan janur itu baru dilepas setelah ada kajatan dan bisa dimakan setelah biasanya dihangatkan (dinget) lebih dulu.
Ritual seperti itu bisa ditafsirkan sebagai bentuk penghormatan terhadap pintu, sekalipun secara pragmatis dapat dipahami sebagai sebuah strategi untuk membuat simpanan makanan ketika bada. Sebab, andai kupat-lepet tak ditaruh di bibir pintu, mungkin sekali sudah lebih dahulu habis.
Kisah tentang Pintu
Dalam cerita rakyat, pintu bisa menjadi suatu yang sangat berarti. Setidak-tidaknya itu dapat ditemukan dalam cerita dari Pati, Pintu Gapura Bajang Ratu.
Syahdan, Raden Rangga meminang Dewi Pujiwat, putri Sunan Ngerang. Namun sang putri tak serta menerima ataupun menolak pinangan itu. Dia meminta bebana. Dia menyatakan sanggup menjadi penamping hidup Raden Rangga, jika pemuda itu mampu mempersembahkan kepadanya pintu gapura bajang ratu Majapahit ke hadapannya dalam tempo tak lebih dari semalam. Padahal, pintu itu berada di Cirebon.
Namun dengan kesaktiannya, Rangga berhasil menaklukkan jin penjaga itu dan menyuruh menggotong pintu tersebut sampai di wilayah Pati. Tepat di Rendole, jin merasa kecapaian sehingga tak mau lagi membawa benda itu hingga di Ngerang yang sebenarnya tidak sampai sepersepuluh perjalanan yang telah ditepuh.
Bagi Rangga, menggotong sendiri pintu sebesar itu, tak mungkin ia bisa melakukannya. Karena itu, ia hanya membawa cengkal-nya dan mempersembahkannya kepada Dewi Pujiwat. Sudah tentu sang dewi mengaggap cengkal saja belum cukup, karena yang ia minta lawang gapura Majapahit. Cinta Rangga pun berakhir dengan kepiluan.
Kisah Sugriwa-Subali yang berpuncak pada permusuhan antarsaudara itu pun tak lepas dari kesalahpahaman akibat Sugriwa menutup pintu Gua Kiskenda setelah meyakini kakaknya mati bertempur di dalam gua
Sikap dengan Lawang
Tentu saja kisah yang menarasikan betapa pintu itu menduduki posisi penting masih bisa diperpanjang lagi. Namun setidaknya dua nukilan kisah sudah cukup untuk menunjukkan bahwa betapa pintu memang keberadaannya begitu bermakna.
Begitu bermakna, sehingga sehingga terdapat pula beberapa idiom yang menghadirkan kata pintu yang dalam bahasa Jawa disebut lawang, kori, ataupun konten. Di samping ada unen-unen ”njajah desa milang kori”, ada pula lawang kaswargan dan lawang kanugrahan. Adapun dalam realitas faktual, terdapat berbagai jenis pintu, di samping jendela, yakni lawang ngarep, lawang buri, lawang butulan, dan lawang senthong.
Ada pula Lawang Sewu di Semarang yang seolah telah menjadi semacam ”grosir lelembut”. Maklumlah, sebuah bangunan yang memiliki banyak sekali pintu ini lebih dikenal sebagai gedung bersarang aneka makhluk halus.
Di luar itu, di samping berfungsi utama sebagai jalan keluar-masuk penghuni rumah dan tamu, pintu juga menjadi salah satu penting penopang estetika rumah. Karena itu, pintu setiap rumah menunjukkan kepekaaan estetis pemiliknya.
Sikap terhadap lawang, apakah lebih sering dalam kondisi tertutup atau terbuka, juga bisa menjadi gambaran sikap penghuni rumah yang dilawangi. Tentu saja pilihan sikap macam itu masih bisa ditautkan dengan keyakinan terhadap lawang. Misalnya setelah candhik ala sebaliknya lawang dibuka agar rezeki yang hendak datang tak urung memasuki rumah.
Apa pun makna yang disematkan, keyakinan yang dilestarikan, dan sikap yang dikembangkan, lawang adalah semacam filter antara dunia dalam rumah yang diidealkan tenang dan dua luar yang sarat situasi chaos. Namun justru bisa terdistorsi fungsinya ketika lawang butulan atau lawang buri justru menjadi jalan untuk memasukkan orang lain buat dhemenan. (35)
(—Sucipto Hadi Purnomo, dosen Budaya Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang /)
0 Comment:
Posting Komentar
Jangan bikin spam disini ya,meskipun bebas tapi teratur oke?? Sopan dan beradab